Senin, September 14, 2015

Hukum memelihara guguk dalam islam

Oleh Mohamad Guntur Romli

Banyak sekali pertanyaan yang datang kepada saya tentang hukum memelihara anjing. Bolehkah memelihara anjing? Bukankah anjing disebut najis dan bekas jilatannya harus dibasuh 7 kali yang salah satunya dengan debu?

Berikut catatan-catatan yang pernah saya twitkan via akun twitter @GunRomli:

Pembahasan anjing dalam hukum Islam (fiqih) tampak kontradiktif antara bab bersuci (thaharah) dan berburu (al-shayd). 
Di bab bersuci, liur anjing disebutkan najis yang harus dicuci 7 kali, diawali dengan tanah (debu), tapi dalam bab berburu hasil tangkapan anjing yang terlatih (al-kalb al-mu’allam) yang dilepas dengan nama Allah terlebih dahulu halal dikonsumsi, meski buruannya mati. Madzhab dalam hukum Islam yang sangat terkenal berhati-hati terhadap najis anjing adalah madzhab syafii yang diikuti oleh mayoritas umat Islam di Indonesia, namun secara garis besar dalam bab berburu, madzhab ini sangat apresiatif terhadap al-kalb al-mu’allam (anjing terpelajar).

Inilah menariknya diskusi dalam hukum Islam, yang tidak selalu hitam-putih, ada keluwesan dan perbedaan perspektif. Oleh karena itu, saya ingin mengajak anda membahas masalah anjing dalam Islam tidak hanya dari perspektif bab bersuci (thaharah) namun juga perspektif bab perburuan (al-shayd).

Pesan Utama Hadits: Kesucian, Kebersihan dan Kesehatan

Kita mulai ulasan anjing dari bab bersuci(thaharah) yang terkait dengan soal al-najasah (najis). Ujung pangkalnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra, yang berbunyi: kesuciaan wadah makan/minum (al-ina’) yang terjilat anjing harus dicuci 7 kali yang diawali dengan tanah. “Thuhuru ina’i ahadikum idza walagha fihi-l kalbu anyaghsilahu sab’a marratin awwalahunna bi-t turab”. 
Dari hadis ini disimpulkan: karena bekas ‘jilatan anjing’ harus dicuci 7 kali, maka lidah dan liur anjing najis yang dipahami dari perintah basuhan yang berkali-kali. Meskipun tidak ada hadits yang menyebutkan anjing adalah binatang najis atau jilatan anjing itu najis.

Dalam Subulu-s Salam dibahas soal perbedaan pendapat: apakah basuhan yang 7 kali itu wajib atau sunnah? Perbedaan pendapat ini berpulang pada adanya perbedaan redaksi hadits soal basuhan bekas jilatan anjing. Hadits di atas yang sudah saya sebutkan: dibasuh 7 kali, namun ada riwayat lain yang sumbernya dari Abu Hurairah Ra hanya cuci 3 kali. 

Dalam hadis lain yang ‘marfu’ (jalur transmisi/sanad terputus dan langsung meloncat ke Nabi): dicuci 3 kali, 5 kali, 7 kali. Namun intinya bekas jilatan anjing harus dibasuh berkali-kali. Dalam madzhab syafii diputuskan bekas jilatan anjing harus dicuci 7 kali yang salah satunya, namun diutamakan pertama kali basuhan memakai tanah.

Selanjutnya saya ingin membahas soal mencuci dan pemahaman tentang najis anjing. Hal yang mesti dicermati bahwa saya tidak menemukan ada hadis lain yang menunjukkan “jilatan anjing” selain kepada “wadah makan/minum”. Saya belum menemukan ada hadits yang mengisahkan adanya jilatan anjing ke hal-hal lain, misalnya ke tubuh dan lain-lainnya. Poin dan pesan utama dari hadis riwayat Abu Hurairah tadi sebenarnya tentang “kesucian wadah makan/minum yang dijilat anjing”. Bagaimana mensucikan—saya mengartikan suci (thahir) di sini sebagai: bersih, sehat dan steril—wadah makan-minum dari jilatan anjing, bukan tentang jilatan anjing itu sendiri. Artinya hadits tadi sedang membahas “kesucian wadah” karena dalam pembahasan lain dalam bab bersuci (thaharah) ini ada larangan memakai wadah yang terbuat dari emas dan perak sebagai alat makan dan minum.

Oleh karena itu kita bisa memahami hadits ini sebagai dalil yang khusus: “jilatan anjing pada wadah makan/minum (al-ina’)” bukan jilatan anjing secara umum. Karakter hadis ini jelas-jelas khusus: jilatan anjing pada wadah makan-minum. Wadah makan-minum terkait sekali dengan kesehatan kita, maka pesan penting dari hadits tadi adalah bahasan soal kesucian (bersih, sehat dan steril) pada wadah makan-minum kita yang kasusnya dijilat oleh anjing. Hadis ini ingin meyakinkan pada kita soal kebersihan dan kesehatan. Wadah makan-minum kita agar benar-benar dicuci bersih dan benar-benar steril untuk zamannya yang menggunakan tanah (untuk menghilangkan lendir bekas jilatan) dan berkali-kali basuhan. Hadits tadi merupakan bentuk perhatian pada kita tentang kesehatan setelah kontak dengan satwa.

Kalau anggota tubuh kita dijilat anjing apakah tidak dibersihkan? Karena hadits ini telah kita bawa ke soal kesucian: kebersihan, kesehatan dan steril tentu saja harus tetap dibersihkan. Dalam kaidah fiqih disebutkan: al-umuru bi maqashidiha(setiap perkara ada tujuannya), maka hadits tadi memiliki tujuan untuk memastikan pada kita soal kesucian, kebersihan dan kesehatan.

Mungkin akan muncul pertanyaan: apakah membersihkan jilatan anjing harus dengan tanah/debu? Mungkin banyak dari kita yang diwariskan pemahaman: “iya harus dengan tanah/debu karena demikianlah bunyi haditsnya” tapi tidak pernah mencermati, apakah tanah/debu yang dimaksud dalam hadits itu, yang pastinya adalah tanah/debu di tempat Nabi Muhammad Saw, yaitu tanah/debu dari padang pasir yang kering, panas dan steril; apakah bisa disamakan dengan tanah/debu di negeri kita yang lembab dan malah menjadi tempat berkembang-biak segala jenis kuman? Dengan tanah/debu dari padang pasir yang kering bisa menyapu lendir bekas jilatan anjing, kalau hanya dengan bilasan air saja lendir akan tetap menempel. Di sinilah kita harus tetap memperhatikan standar-standar kesehatan dan steril tanpa memaksakan bunyi harfiyah hadits namun melaksanakan pesan utamanya, yaitu memperhatikan betul soal kesucian, kebersihan dan kesehatan. Maka, apapun alat dan prosesnya selama tujuannya untuk kesucian, kebersihan dan kesehatan maka sah-sah saja.

Tidak Ada Teks yang Menyatakan: Anjing Binatang Najis

Jadi, hadits tadi dibawa ke masalah kesucian, kebersihan dan kesehatan bukan soal “najis akibat jilatan anjing”? iya! Karena tidak ada teks yang jelas dan pasti yang secara eksplisit menyatakan anjing itu binatang yang najis. Para ulama yang mengatakan dari yang paling ringan: “jilatan anjing najis” hingga “anjing itu binatang najis” hanya berdasarkan asumsi dari hadits bekas jilatan anjing yang harus dibasuh berkali-kali yang salah satunya dengan tanah/debu, maka disimpulkan: “ada masalah besar pada jilatan anjing” atau “ada masalah besar pada binatang anjing itu sendiri”. Namun kalau ditanyakan adakah teks Al-Quran dan Hadits yang menyatakan jilatan atau bahkan anjing itu najis? Tidak ada.

Kalau kita merujuk al-Quran, surat al-Ma’idah ayat 3 yang detail bicara soal najis, dari khinzir (babi), bangkai, dan seterusnya anjing (kalb), tidak disebutkan. Malah dalam ayat setelah (ayat ke-4) dalam surat yang sama: diperbolehkan memakan dari hasil tangkapan hewan-hewan yang terlatih (al-jawarih mukallibin) yang salah satunya adalah anjing yang terlatih. Bahkan dalam ayat ini kata al-mukallibinasal katanya dari al-kalb (anjing) yang makna harfiyahnya hewan-hewan yang “teranjingkan” yang maksudnya yang dilatih untuk berburu seperti anjing.

Al-Ma’idah ayat 3:

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.

Al-Ma’idah ayat 4:

Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang-binatang buas (al-jawarih mukallibin) yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya)…

Anjing dalam Bab Berburu (Shayd)

Kalau mau tahu hukum memelihara (dengan istilah yg lebih baik mengadopsi) anjing, seharusnya membaca bab berburu(shayd) bukan hanya sampai bab bersuci(thaharah) dalam hukum Islam (fiqih). Namun sayangnya bab berburu ini ada di bagian-bagian belakang dalamn kitab fiqih, sedangkan bab bersuci selalu mengawali kitab fiqih. Dan mungkin saja banyak yang membaca kitab fiqih tapi tidak sampai ke bagian belakang, seperti bab berburu(shayd), sehingga pemahaman tentang anjing hanya dari perspektif bab bersuci(thaharah) tidak sampai ke perspektif bab berburu. Bisa jadi, he he he…
Ada hadits Nabi Muhammad Saw dari riwayat Abu Hurairah Ra yang menyatakan memelihara anjing yang bukan penggembala, penjaga pertanian dan berburu maka amal baiknya akan berkurang 1 qirath setiap hari.

Man-ittakhadza kalban illa kalba masyiyatin, aw shaydin aw zar’in intuqisha min ajrihi kulla yawmin qirathun

Dari hadits ini bisa disimpulkan kalau anjing yang punya tugas maka boleh dipelihara (bahkan menurut madzhab syafi’i sekalipun yang terkenal sangat berhati-hati soal “najis anjing”).

Dalam kitab Subulu-s Salam disebutkan bahwa “memelihara anjing hukumnya dilarang, kecuali jenis-jenis (fungsi) anjing yang telah dikecualikan”. Yang jadi persoalan bagaimana hukum melihara anjing yang “nganggur”? Bagi madzhab syafi’i jelas dilarang.

Namun ada pendapat yang memiliki pemahaman “berkurang amal 1 qirath” itu tidak menunjukkan larangan (keharaman), tapi itu hal yang makruh (sebaiknya dihindari). Baik yang melarang dan yang memakruhkan anjing yang “nganggur” sepakat sebab (illat)nya adalah soal najis, menakuti tamu, atau malaikat tidak mau masuk.

Namun kalau ada yang mau melihara anjing untuk penjaga tidak perlu ragu, ini boleh, bahkan menurut madzhab syafi’i sekalipun yang sering dituding “anti-anjing” dengan tetap memperhatikan soal najis dan kebersihan anjing. Bahwa “ancaman” pahala orang yang memelihara anjing akan berkurang tiap hari 1 qirath atau malaikat tidak mau masuk ke rumah, hanyalah untuk anjing-anjing yang dipelihara yang tidak memiliki fungsi sama sekali.

Mungkin ada pertanyaan: apakah jenis (tugas, fungsi) anjing yang diperbolehkan hanya 3 tadi: penggembala, menjaga pertanian dan berburu? Di kitab Naylu-l Awthar dibahas soal ini: malah seorang sahabat bernama Ibnu Umar mengingkari anjing yang bertugas di pertanian. Saat disampaikan kepadanya bahwa Abu Hurairah memperbolehkan anjing yang menjaga pertanian, Ibnu Umar berkata: “Iya karena Abu Hurairah memiliki lahan pertanian.”

Menurut As-Syaukani dalam Naylu-r Awthar 3 jenis fungsi/tugas anjing tadi bisa dikiaskan pada prinsip: anjing itu bisa bermanfaat dan menolak bahaya. Berikutibarah (kutipan kalimat)nya: annahu yadkhulu fi ma’na al-shayd wa ghayrihi mimma dzukira ittikhadzuha li jalbil manafi’ wa daf’il madlar qiyasan. Prinsipnya adalah anjing diperbolehkan dipelihara karena membawa manfaat.

Sabda Nabi: Anjing yang Terlatih (al-kalb al-mu’allam)

Dalam bab berburu ini ada bahasan yang lebih menarik yang mengenalkan istilah al-kalb al-mu’allam (anjing yang terlatih). Istilah ini berasal dari sabda Nabi Muhammad Saw. Di era saat itu, diakui tradisi berburu dengan menggunakan hewan-hewan yang dilatih. Umumnya anjing (kalb) dan elang (shaqr).Disimpulkan bahwa hasil buruan dari anjing yang terlatih (al-kalb al-mu’allam)yang sebelumnya dilepas dengan mengucapkan nama Allah(bismillahirrahmaanirrahim), hasil buruannya (meski sampai mati) halal dikonsumsi.

Nabi Saw bersabda: “jika kamu mengirimkan anjingmu yang terpelajar kamu sebut nama Allah, maka makanlah yang ia tangkap untukmu…”—Idza arsalta kalbaka al-mu’allama wa dzakarta isma Allah alayhi fakul ma amsaka ‘alaika..

Ada sahabat Nabi yang minta penjelasan selanjutnya: “Meski ia (anjing) itu membunuhnya?” Nabi Saw menjawab: “Iya meski ia bunuh asal tidak ada anjing lain (asing).”

Hadits tadi jelas membedakan antara anjing kita yang terlatih dan anjing yang asing (liar) yang tidak kita kenal, apakah ia anjing yang sehat atau anjing yang sakit, maka sabda Nabi Saw jangan memakan hasil buruan yang bercampur antara anjing kita yang dilatih dengan anjing liar.

Hadits ini sangat penting bukan hanya soal hukum makan hasil buruan anjing tapi pada istilah “anjing terlatih ” al-kalb al-mu’allam.Ini penting untuk yang melihara anjing agar melatih/mendidik anjingnya agar menjadial-kalb al-mu’allam.

Maka penting sekali anjing yang terlatih al-kalb al-mu’allam, anjing yang dipelihara, anjing yg punya tugas, bukan anjing liar/terlantar. Maka mengadopsi anjing yang dirawat, dilatih, dididik, dijamin kesehatannya hingga menjadi al-kalb al-mu’allam boleh-boleh saja. Prinsipnya adalah: al-kalb al-mu’allam (anjing yang terlatih).

Standar Kebersihan dan Kesehatan Anjing

Kini, kalau ada yang mengadopsi anjing haruslah memperhatikan betul soal kebersihan dan kesehatan anjing dan soal ini tentu saja tidak cukup hanya berputar-putar pembahasan soal mencuci berkali-kali dan salah satunya dengan tanah/debu.

Untuk merawat anjing agar terjamin kebersihan dan kesehatannya tidak bisa hanya merujuk ke bab thaharah dalam kitab fiqih. Pengertian thahir (suci) pun harus diperluas, tidak hanya “suci” (yang kadang masih “kotor”) tapi harus benar-benar besih, suci, sehat dan steril.

Setiap kontak dengan anjing (tak perlu nunggu dijilat) kita harus memastikan setelahnya benar-benar besih. Anjingnya juga harus dijamin kebersihan dan kesehatannya: dimandikan, divaksin, makanannya dijaga, dirawat agar sehat dan bersih serta anjing haruslah disteril agar tidak berkembang biak. Karena menurut data-data yang sudah ada, telah terjadi kelebihan populasi anjing, sehingga banyak sekali pemberantasan terhadap anjing-anjing dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Oleh karena itu untuk menyetop kelebihan populasi anjing haruslah disteril agar tidak berkembang biak dengan cepat, dan juga lebih sehat bagi psikologi dan tubuh anjing.

Sebagai kesimpulan, bagaimana hukum memelihara anjing? Maka pastikan dulu soal kebersihan dan kesehatan, serta siapkah melatih anjing hingga menjadi al-kalb al-mu’allam? Kalau tidak siap, maka jangan dilakukan, kalau siap, maka ikutilah prinsip-prinsip yang telah disebutkan secara panjang lebar di atas. Wallahu A’lam.

Mohamad Guntur Romli, alumnus Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura dan Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir, ia juga co-founder Garda Satwa Indonesia.

<i><small>

~www.gardasatwaindonesia.org

</i></small>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih untuk partisipasi dan kepercayaannya. Sumbang-saran, testimoni serta kontribusi positipnya segera ditampilkan..
Salam 🙏

Materi Teknik Penyuntingan Video Kelas 12 - Part 3

Langkah-langkah Penyuntingan Video yang Efektif Dalam bagian ini, kita akan merinci langkah-langkah penyuntingan video yang efektif mengguna...